Jumat, 10 Januari 2014

Merajan



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Merajan
            Merajan berasal dari kata raja mendapat awalan pe dan me serta akhiran an sehingga menjadi pamerajan yang berarti tempat raja. Raja yang dimaksud ialah Raja-raja, para Arya dan lain-lain yang dianggap berjasa pada zaman dahulu kala dan karena jasanya itu sehingga kedudukannya disamakan dengan Dewa/bhatara serta dibuatkan pura kahyangan.
            Pada waktu hari raya misalnya hari raya Kuningan, masyarakat Hindu di Bali diharuskan untuk berziarah ke tempat-tempat suci tersebut guna memberi hormat sebagai penghargaan kita kepada roh-roh suci yang telah meninggal. Akan tetapi karena tempat suci itu letaknya berjauhan dan tidak mungkin bisa dicapai dalam satu hari perjalanan, maka tiap ikatan keluaraga diwajibkan membuat pamerajan di lingkungannya masing-masing.
            Fungsi sanggah /Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali yaitu: 1) Sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur/Kawitan. (2) Sebagaitempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali keluarga. (3) Sebagai tempat kegiatan social/pendidikan yang berkaitan dengan Agama.













BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pasek Gelgel
Ketika Sira Brahmana beryoga, adalah Ratu Bali yang bernama Ki Mpu Witadharma yang memerintah di Kuntuliku. Beliau mempunyai puta bernama Ki Mpu Wiradharma. Kemudian Mpu Wiradharma menurunkan Ki Mpu Lampita, Ki Mpu Ajnyana, dan Ki Mpu Pastika.
Ki Mpu Lampita menurunkan Ki Mpu Kuturan dan Mpu Pradah. Ki Mpu Ajnyana menurunkan Ki Mpu Panabda.  Ki Mpu Panabda diajak tinggal di Padang dan pindah dari Jawa, tetapi Mpu Pradah tidak ikut.
Kemudian Ki Mpu Panabda kemenakan dengan Mpu Kuturan dan Mpu Panabda menurunkan Ki Mpu Jiwaksara. Mpu Jiwaksara menurunkan Ki Mpu Ketek yang nantinya melahirkan Arya Tatar. Arya Tatar menurunkan Ki Patih Ulung, Putra Ki Patih Ulung yang bernama Ki Semar ini kawin dengan Ni Wredani dan melahirkan Ki Langon, Ki Langon inilah menurunkan Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Denpasar dan Ki Pangeran Tangkas. Keturunannya ini yang nantinya memerintah di Bali lebih-lebih pada jayanya Majapahit.
Pada saat Ki Mpu Bradah ini memerintah, diangkatnya Sengguhu di Kuntuliku. Mpu Bradah ini sangat gaib dan selalu beranjangsana ke Jawa dan ke Bali sehingga diperingati dengan adanya Sugian Jawa dan Sugihan Bali. Mantra, japa, jampi dari Hyang Iswara. Jampi-jampi Hyang Wisnu untuk diucapkan demi keselamatan dunia. Dalam hal ini dilengkapi dengan sarana pecaruan sajian.
Tersebutlah Bhatara Brahma berputra Bhatara Gni Jaya yang berstana di Besakih yang nantinya menurunkan 5 orang putra yang bernama Sira Wang Bang Sidhimantra. Sang Mpu Witadharma dan Sira Sang Kul Putih yang memerintah di Madura, Mpu Witadharma datang ke Gelgel bersama Hyang Gnijaya yang berstana di Gunung Lempuyang. Suatu ketika datang putra beliau dari Majapahit bersama para Resi tiba lah di Padang. Putranya itu bernama Sang Kul Putih. Perjalanan beliau ini adalah ke Gelgel, bertemu dengan Sang Mpu Witadharma dan pergi ke Besakih bertemu dengan Mpu Pradah. Setelah itu Hyang Gnijaya moksa dan Sang Kul Putih bersama keluarganya tetap tinggal di Besakih.
Semua prati-santana dari Bhatara Gnijaya yang selalu bakti dan hormat ke Gunung Lempuyang dan mendirikan mereka Parhyangan. Setelah lama beliau berada di Besakih, datanglah turunlah Bhatara yang terkenal amat sakti yaitu putra dari Bhatara Pasupati dari Gunung Mahameru. Putra itu bernama Bhatara Mahadewa adik dari Bhatari Danu Permaisuri Bhatara di Gunung Batur. Kemudian diceriterakan Sang Kul Putih moksa di Besakih menuju Sunialoka. Begitu pula Ki Pasek kembali pindah menuju Gelgel, dan Ki Pasek Prateka pindah dari Lempuyang. Sebelum Ida meninggalkan dunia, beliau dapat memberikan ajaran kepada putra Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Denpasar, Ki Pangeran Tangkas, Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Nongan, Ki Pasek Prateka agar melaksanakan upacara dan selalu hormat kepada Ida Bhatara. Juga mengenai ajaran pelaksanaan upacara yajnya seperti kacuntakan dan pelaksanaan pitra yajnya.
Diceriterakan Ki Kabayan di Pura Besakih yang bernama Toh Jaya yang memangku Ida I Dewa Ratu Kidul. Dan Ki Pasek Selat yang bernama I Sedahan menjaga hasil bumi yang dipergunakan untuk melaksanakan upacara di Besakih dan kedua beliau ini membuat peraturan- peraturan dengan istilah Raja Purana.
Kemudian disebutkan kedatangan Raja Majapahit di bawah Gajah Mada ke Bali untuk membekuk raja Bali yang bernama Dalem Beda-Danaya yang terkenal sakti dan angkara murka. Kedatangan Gajah Mada bersama Patih Mega Prawa Tatar ke Bali atas petunjuk dari Bhatara Mahadewa untuk menghancurkan angkara murka. Pemerintahan di Bali selalu menerapkan tata pemerintahan di Majapahit baik parhyangan, tata wilayah dan tata pergaulan manusianya.
Setelah penertiban pemerintahan Dalem, diadakan pembagian kekuasaan (Mandesain) kepada keturunan (keluarga Ki Pasek) sebab Ki Pasek Gelgel sangat hormat kepada Dalem. Seperti misalnya Ki Pasek menguasai Batur, Songan dan sebagainya. Ki Bandesa di Datah, Tista, Juntal, Tulamben, di Kubu, dan di Baturinggit. Sedangkan untuk tugas keamanan di Dalem, diangkat lah Ki Pangeran Tangkas.
Diceriterakan batas- batas daerah Ki Pasek Ngis yaitu di kulon perbatasan dengan Gunung Umbalan, di sebelah wetan berbatasan dengan belokan sungai, di sebelah Kidul. Juga pemeliharaan babi, pertanian diatur dengan seksama. Bila mana I Pasek mendirikan bangunan, patut lah I Pasek Ngis mengerjakan kayunya.

2.2 Pelinggih Taksu di Merajan      
Indriyani parany ahur
indriyebhyah param manah.
manasas tu para budhir
yo buddheh pratas tusah.
(Bhagawad Gita Gita IV.42).
Maksudnya:
Sempurnakanlah indriamu, tetapi kesempurnaan indria berada di bawah kesempurnaan pikiran, kekuatan pikiran berada dalam pencerahan kesadaran budhi. Yang paling suci adalah Atman.
MEMELIHARA kesehatan indria agar dapat berfungsi secara sempurna merupakan upaya hidup sehari-hari yang wajib dilakukan. Indria tersebut adalah alat untuk dapat kita merasakan adanya suka dan duka dalam kehidupan ini. Cuma indria yang sehat sempurna itu harus digunakan di bawah kendali pikiran yang cerdas. Kecerdasan pikiran itu dilandasi oleh kesadaran budhi yang bijaksana. Struktur diri yang demikian itulah yang akan dapat mengimplementasikan kesucian Atman dalam wujud perilaku.
Indria, pikiran dan kesadaran budhi yang mampu menjadi media kesucian Atman itulah yang menyebabkan orang disebut mataksu dalam hidupnya. Kata ''taksu'' berasal dari kata ''aksi'' artinya melihat. Melihat itu dengan cara pandang yang multidimensi itulah menyebabkan orang disebut mataksu. Melihat sesuatu tidak hanya dengan mata fisik saja. Pandangan mata fisik itu dianalisis oleh pandangan pikiran yang cerdas dan dipandang dengan renungan rohani yang mendalam. Cara pandang yang demikian itulah yang akan dapat melihat sesuatu dengan multidimensi. Penglihatan yang multidimensi itulah menyebabkan orang mataksu.
Tempat pemujaan sebagai Ulun Karang atau hulunya rumah tempat tinggal bagi umat Hindu di Bali umumnya disebut Merajan atau Sanggah Merajan. Di tempat pemujaan yang disebut Merajan Kamulan itu ada salah satu pelinggihnya disebut Taksu. Pelinggih Kamulan umumnya didirikan di leret timur dari areal Merajan hulu pekarangan. Pelinggih Kamulan itulah sebagai pelinggih utama. Sebutan lain dari Merajan tersebut adalah Kemulan Taksu atau juga disebut Pelinggih Batara Hyang Guru.
Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, Atman yang telah mencapai tingkat Dewa Pitara atau Sidha Dewata distanakan di Pelinggih Kamulan. Lontar Gayatri menyatakan orang yang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atma Wedana barulah disebut Dewa Pitara.
Menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenis upacara Atma Wedana berdasarkan besar kecilnya upacara yaitu: Ngangsen, Nyekah, Mamukur, Maligia dan Ngeluwer. Setelah roh diyakini mencapai status Dewa Pitara inilah ada prosesi upacara yang disebut upacara Dewa Pitra Pratistha. Umat Hindu di Bali umumnya menyebutnya upacara Nuntun Dewa Hyang atau juga disebut Ngalinggihan Dewa Hyang di Pelinggih Kamulan. Karena itulah berbagai lontar menyatakan bahwa Pelinggih Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma.
Di leret utara dari areal tempat pemujaan Merajan salah satu pelinggihnya ada yang disebut Pelinggih Taksu. Karena itu tempat pemujaan Ulun Karang itu juga disebut Pelinggih Kamulan Taksu. Dalam Lontar Angastya Prana ada diceritakan bahwa saat jabang bayi ada dalam kandungan berada dalam pengawasan Dewa Siwa. Setelah ada sembilan bulan lebih jabang bayi tersebut ada dalam kandungan maka Dewa Siwa minta agar jabang bayi itu lahir ke dunia.
Diceritakan jabang bayi itu takut lahir ke dunia. Mengapa takut, karena hidup di dunia itu banyak penderitaan yang akan dialami. Ada angin ribut, ada gempa, ada gunung meletus, ada kelaparan, ada banjir, ada perang dan banyak lagi ada hal-hal yang membuat orang menderita. Atas jawaban jabang bayi itu Dewa Siwa menyatakan bahwa engkau tidak perlu takut hidup di dunia, nanti saudaramu yang empat itu akan membantu kamu mengatasi segala derita.
Untuk itu kamu harus minta bantuan kepada saudaramu yang empat itu yang disebut Catur Sanak. Catur Sanak itu adalah ari-ari atau plasenta, darah, lamas dan yeh nyom. Empat hal itulah yang melindungi dan memelihara secara langsung sang jabang bayi dalam kandungan ibunya. Kedokteran dapat menjelaskan secara ilmiah apa fungsi keempat unsur yang melindungi bayi dalam kandungan ibunya itu.
Diceritakan secara mitologi dalam Lontar Angastia Prana sang jabang bayi bersedia minta tolong pada Sang Catur Sanak. Permintaan jabang bayi itu disanggupi oleh Sang Catur Sanak dengan catatan agar setelah lahir ke dunia sang bayi tidak boleh lupa dengan dirinya. Dengan kesepakatan itu Sang Catur Sanak mendorong sang jabang bayi lahir ke dunia.
Setelah sang bayi dan Catur Canak sama-sama lahir ke dunia, keduanya mendapatkan perlakuan sekala dan niskala. Setiap bayi diupacarai secara keagamaan. Sang Catur Sanak pun ikut serta diupacarai. Nama Sang Catur Sanak berubah menjadi seratus delapan kali. Demikianlah sampai sang bayi meningkat dewasa, tua dan sampai meninggal.
Saat bayi baru lahir Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana nasi kepel empat kepel. Saat sudah meninggal roh atau Atman dipreteka dengan upacara ngaben, saat itu Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana beras catur warna. Sampai upacara Atma Wedana dan roh mencapai Dewa Pitara distanakan di Pelinggih Kamulan, maka Catur Sanak distanakan di Pelinggih Taksu. Karena itulah tempat pemujaan di Ulun Karang itu disebut Kamulan Taksu sebagai Batara Hyang Guru.
Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru. Atman adalah satu dari lima guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa tersebut. Pendirian tempat pemujaan keluarga di Ulun Karang tempat tinggal adalah sebagai prosesi untuk menstanakan Atman sebagai Batara Hyang Guru dalam kehidupan keluarga inti bagi umat Hindu di Bali.
Dengan adanya Pelinggih Taksu sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam Merajan Kamulan inilah ada suatu nilai spiritual yang patut dipetik sebagai penuntun hidup di bumi ini. Dengan adanya Pelinggih Kamulan Taksu ini dapat dikembangkan suatu pandangan bahwa bagaimana konsep taksu dari sudut pandang Hindu dalam sistem budaya spiritual di Bali. Dengan konsep yang benar itulah kita jaga taksu Bali ke depan untuk menghadapi pergolakan kehidupan global yang semakin dinamis.
2.3 Pelinggih Rong Tiga
Pelinggih Rong Tiga merupakan Kahyangan Tiga yang berada dalam lingkungan keluarga atau dilingkungan masyarakat terkecil. Maksud dari pembangunan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga adalah agar kita selalu ingat akan kebesaran Tuhan dalam kaitannya dengan hutang kita yang disebut Tri Rnam.
Tri Rnam terdiri dari:
  1. Kepada Sanghyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberikan kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup.
  2. Hutang kepada leluhur, terumata kepada bapak/ibu yang telah melahirkan,merawat dan membesarkan kita.
  3. Hutang kepada Rsi, yang telah berjasa mengajarkan kepada kita mengenai Agama, Kebudayaan dll
Dengan adanya pelinggih Rong Tiga, baik secara langsung maupun tidak langsung, kita telah diajarkan agar kita selalu melakukan Yadnya yang paling kecil, tujuan Yadnya adalah untuk menanamkan rasa suci dan iman, selain sebagai melebur dosa kita.
Setiap pembangunan pelinggih harus berisi pedagingan dalam tingkatan nista, madya maupun utama yang merupakan lambang kekuatan/kesucian jiwa.
Hal ini tersurat dalam lonta Dewa Tattwa: “Muwah yan ana angwangun Kahyangan, yan nora mapadagingan nista, madya, utama salwir ikang wewangunane maharan astaning Dewa, dudu Kahyangan Dewa, dadi umahing detia kubanda, tan pegatan andang wiadi sang madrawe Kahyangan, sama mangguh kagringan pamati-mati dadi salah ton, kerangsukan ring buta pisaca”.
Terjemahan bebasnya: Jika ada seseorang yang membangun Kahyangan tidak berisi pedangingan nista, madya, utama semua bangunan tersebut bukan stananya Hyang Widhi Wasa, bukan Kahyangan Dewa(Hyang Widhi) tetapi menjadi temoatnya detia kudanda, tidak putus-putusnya menderita yang memiliki Kahyangan itu. Sesuai dengan dengan isi lontar tersebut diatas makan upacara mendem pedangingan merupakan suatu ritual yang bermakna utpati dan stiti agar palinggih tersebut menjadi suci dan berfungsi sebagai lingga Dewa maupun Bhatara sebagai sinar suciNya Hyang Widhi.
2.4 Pelinggih Meru
Dalam Lontar Andha Bhuwana ada dinyatakan bahwa meru itu sebagai lambang alam semesta (Meru ngaran pratiwimba Andha Bhuwana). Dalam lontar yang sama juga dinyatakan sbb: Pawangunan pelinggih makadi meru muang candi, juga pratiwimba saking pengelukunan wijaksara dasaksara mewastu manunggal dadi Om. Artinya: Bangunan suci (pelinggih) terutama meru dan candi juga simbol dari pemutaran huruf suci wijaksara dasaksara menunggal menjadi Om.
Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ''ruping bhuwana''. Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut.
Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sbb: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama.
Empat belas lapisan sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama. Empat belas lapisan itu Sapta Loka ke atas dan Sapta Patala ke bawah. Apa makna dari pelukisan semua lapisan alam ini sebagai sthana Hyang Widhi Tuhan Yang Mahakuasa dengan sebutan yang berbeda-beda pada setiap lapisan.
Tuhan yang selalu berada di setiap lapisan alam ini hendaknya dimaknai sebagai suatu peringatan agar manusia selalu berlaku baik dan benar di setiap lapisan alam ini. Asih, Punia, dan Bhakti wajib dilakukan oleh umat manusia di setiap lapisan alam.
Asih dan Punia kepada alam dan semua makhluk hidup termasuk manusia di setiap lapisan alam ini. Melakukan Asih dan Punia kepada alam dan sesama umat manusia itu sebagai salah satu wujud bakti pada Tuhan. Tidaklah tepat di suatu lapisan alam tertentu manusia boleh saja berbuat semena-mena demi kenikmatan hidup di lapisan yang lain. Seperti di wilayah pemukimannya, manusia menciptakan berbagai fasilitas hidup yang memberi kenikmatan, tetapi di lapisan lain menimbulkan kerusakan alam yang hebat.
Misalnya manusia ingin memiliki mobil dengan berbagai merek dan jenisnya. Semuanya itu agar mereka dapat dengan mudah ke mana maunya. Untuk memenuhi itu, berbagai bagian bumi ini dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan akan bijih besi dan minyak bumi. Sudah semakin banyak perut bumi dilubangi dalam-dalam dan luas untuk mendapatkan berbagai mineral yang tak terbarukan yang dijadikan bahan-bahan baku untuk membuat barang-barang industri demi memenuhi kebutuhan umat manusia mendapatkan hidup yang nikmat.
Jika sudah datang gilirannya, maka alam yang dirusak itu akan membawa manusia pada hidup yang duka lebih dalam dari pada kenikmatan yang didapatkan. Demikian juga untuk memiliki rumah yang mewah, indah dan memberikan kenikmatan yang serba wah pada pemukimnya membutuhkan berbagai mineral yang tak terbarukan. Seperti besi, ubin, pasir, semen dan juga kayu yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Seandainya semakin banyak orang yang mau tinggal di rumah yang tidak terlalu mewah dan serba wah itu, mungkin tidak banyak sumber-sumber alam yang dirusak. Alam pun akan asri dan lestari, hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia pun akan seimbang, tidak saling terancam.
Meru dengan tumpang-tumpang atapnya itu hendaknya dapat memberikan kita pemahaman bahwa hidup di lapisan alam tertentu jangan sampai merusak keadaan hidup di lapisan alam yang lain. Meskipun kita berbuat di Bhur Loka tetapi akibatnya dapat menembus Bhuwah Loka bahkan Swah Loka. Kalau kita berbuat tidak baik dan benar di Bhur Loka ini seperti merabas hutan, menggunakan sarana hidup yang serba mesin tetapi tidak laik operasional juga bisa menimbulkan kerusakan di angkasa.
Mesin yang tidak laik jalan misalnya mesin yang menimbulkan gas buang yang melebihi ambang batas dapat merusak langit bahkan menimbulkan gas rumah kaca di udara. Hal ini yang akan menghalangi panas naik ke angkasa dan balik ke bumi menimbulkan pemanasan global membuat suhu bumi meningkat. Udara yang dihirup oleh manusia pun menjadi semakin kotor. Hidup manusia pun akan semakin resah. Konon larutan logam berat yang melebihi ambang batas dalam darah manusia, dapat menimbulkan gangguan mental pada manusia.
Manusia bisa lebih emosional dan meledak-ledak karena ada gangguan mental. Sedih dan gembira akan diekspresikan secara ekstrim oleh manusia yang dalam darahnya mengandung larutan logam berat melebihi ambang batas. Kalau di setiap lapisan bumi ini kita mampu tegakan Rta dan Dharma sebagai dasar berbuat maka durian inilah yang akan menuntun kita menuju alam tertinggi yaitu Satya Loka yang dilukiskan oleh tumpang meru yang teratas yang juga disebut sebagai lambang Omkara.

Dunia ini dengan semua lapisannya berdimensi ganda. Bisa membawa manusia menuju surga dan bisa juga sebagai sarana mengantarkan menuju neraka. Kalau hukum alam dan hukum manusia (Rta dan Dharma) ditegakkan di setiap lapisan bumi ini maka manusia pun dapat mencapai Satya sebagai dasar menuju surga.
2.5 Pelinggih Penunggun Karang/Jero Dukuh Sakti
Istilah Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian).
Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih.
Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh.
Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan. Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan.
Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian.
Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat:
  1. pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara”
  2. sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang
  3. di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatu
  4. di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura Kahyangan Tiga.
Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil.
Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian.
2.6 Pelinggih  Padmasana
Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga.Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Dalam Lontar “Padma Bhuana“, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam — akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).

Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).

Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana — Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.

Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.”Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai.

Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut Asta-Aiswarya.
Asta-Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara.
Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan.
 Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
  1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.
  2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)
  3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa.
Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana.
2.7 Pelinggih Menjangan Salwang.
Pelinggih Menjangan Seluang ( Salwang ) adalah pelinggih untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali. Empu Kuturan ialah seorang Maha Rsi dari Jawa timur yang dating ke Bali pada waktu pemerintahan Raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Empu Kuturan di kenal sebagai salah satu tokoh spiritual yang memperkokoh sendi-sendi kehidupan beragama di Bali.
Antara lain :

           · Adanya Khayangan Tiga di Desa-Desa Pakraman
           · Adanya Khayangan Jagat
           · Adnyan Sad Kahyangan Di Bali
           · Tata Cara Penyelenggaraan Desa Pakraman.
           · Tata Cara Pelaksanaan Upacara dan Upakaranya.
           · Mengenal Arsitektur tradisional Bali.
           · Palinggih-Palinggih Meru,Tugu dan Gedong.
Dan Mpu Kuturan juga di kenal sebagai pemersatu beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali.
Beliau Juga Mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan menganjurkan membuat Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan lain-lainnya.
Sebenarnya, sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan.
Maka Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik, maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali
yaitu :
                   · Empu Semeru,
                   · Empu Garia,
                   · Empu Kuturan,
                   · Empu Gnijaya,
                   · Empu Baradah.
Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan tentang sekte-sekte tersebut.
Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “ Samuan Tiga “ hasil keputusan Samuan tersebut mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua sekte telah masuk kedalamnya.
Jadi kesimpulanya yang berstana ( Malinggih ) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama Empu Kuturan.
2.8 Pelinggih Ratu Nyoman
Fungsinya adalah untuk tempat pemujaan Sri Sedana manifestasi Ida SangHyang Widhi ( Tuhan ) sebagai Dewa Harta Atau Kekayaan, untuk kesejahteraan hidup.
Dewa yang di puja di Sana adalah Bathara Rambut Sedana ( Sri Sedana ) sebagai Dewa kekayaan.
2.9 Pelinggih Kawitan
Pulau Bali pernah mengalami musibah besar di mana rakyatnya melarat karena bencana alam yang sambung menyambung, tanaman pangan selalu rusak karena diserang hama, dan wabah penyakit menjalar cepat mematikan manusia dan binatang peliharaan.
Menurut Rontal Purana Pasar Agung hal ini disebabkan karena penduduk Pulau Bali tidak “ngaturang aci” dan bersembahyang ke Pura Besakih. Ketika pemerintahan Raja Mayadanawa selama 15 tahun, yaitu sejak tahun 959 Masehi sampai dengan tahun 974 Masehi, rakyat Bali memang benar dilarang ngaturang aci dan bersembahyang ke Besakih.
Para tentara kerajaan membangun pos penjagaan pertama di pinggir sungai Balingkang (letaknya di timur pasar Menanga sedikit lewat jembatan sekarang dikenal dengan pelinggih Yeh Ketipat) dan kedua, di Pura Manikmas sekarang, untuk menjaga agar tidak ada penduduk yang datang ke Besakih.
Setiap yang datang ditangkap lalu digiring ke hadapan raja Mayadanawa. Disaksikan oleh para patihnya, yaitu Kryan Patih Kalawong dan Kryan Bedawong, Raja lalu bersabda:
Renge ling ngong, samangke ngong angrenge wrtha kunang padartanya ring Basukih hana Dewa, hana Dalem; ndi hana Dalem waneh lawan ingong, ingong Dalem, ingong Dewa yatika tan tuhu mangkana sinembah dening wong Bali… dst
… iti ta wang ingong Dalem jati, yan ri Dalem Kadewatan dudu Dalem, ing Basukih dudu Dewa, ingong Dewa jati, ingong haturi widhi wedana mwah sembahen ta ingong asung uripta, mwah samidinta… dst
Jadi, singkatnya, Mayadanawa telah menyatakan dirinya: “akulah Dewa yang patut kamu sembah, janganlah menyembah Dewa yang ada di Besakih”.
Ini membuat para Dewa di Kahyangan memutuskan untuk memusnahkan Mayadenawa. Bhatara Indra diutus untuk tugas suci ini, dan akhirnya Mayadanawa dikalahkan. Bhatara Indra lalu menitahkan agar rakyat Bali membangun kahyangan di Desa masing-masing, taat ngaturang aci, dan bersembahyang di Besakih.
Aci yang dititahkan itu adalah: Eka Bwana, Panca Walikrama, dan Eka Dasa Rudra. Di saat itu Ida Bethara Samodaya nyejer di Besakih, dan ketangkil oleh seluruh rakyat yang tinggal di Pulau Bali.
Bagi Para Rsi, Mpu, dan arwah leluhur perintis pertama yang datang di Bali dibuatkan palinggih di Besakih agar dapat ngiring Ida Bethara Samodaya.
Itulah antara lain yang merupakan awal dibangunnya Pura Pedarmaan di Besakih. Kemudian perkembangan ini lebih pesat setelah kedatangan Mpu Kuturan di Bali pada tahun 1001 Masehi. Beliau menata kembali parahyangan mulai dari Sanggah Kemulan Rong Tiga untuk pawongan (rumah tangga),
Sanggah Pamerajan untuk beberapa rumah tangga, di mana dipuja arwah suci para leluhur yang berasal dari garis satu waris. Lebih besar dari Sanggah Pamerajan adalah berturut-turut: Pura Panti dan Pura Paibon, untuk penyungsungan bagi beberapa Sanggah Pamerajan.
Pura Dadia untuk penyungsungan bagi beberapa Panti dan Paibon, dan Pura Kawitan, untuk penyungsungan bagi beberapa Dadia.
Perbedaan status Pura-Pura tersebut ditentukan oleh:
  1. Jumlah penyungsung.
  2. Jumlah dan jenis Palinggih yang ada.
  3. Historis (sejarah berdirinya Pura-Pura itu).
Perlu diketahui bahwa pada umumnya tiap-tiap Sanggah Pamerajan, Panti, Paibon, Dadia, Kawitan, bahkan Pura Pedarmaan tidak sama baik jumlah/ susunan palinggih, maupun Ida Bethara yang di-stana-kan, karena masing-masing mengikuti sejarah leluhurnya dahulu.
Mengenai asal satu waris dan hubungan ke-cuntaka-an atau saling sumbah pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam tingkatan Kawitan, karena demikian panjangnya silsilah leluhur yang melewati batas waktu dalam hitungan abad (ratusan tahun)




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar